Ad Code

Responsive Advertisement

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183-185 tentang Puasa

 

Latar Belakang

Puasa adalah ibadah wajib yang dilakukan selama bulan Ramadan oleh umat Islam. Permasalahan yang berkaitan dengan ibadah puasa perlu diketahui secara jelas dan pasti. Demikian karena masih banyak orang yang tidak tahu, atau masih merasa bingung, terkait permasalahan yang berhubungan dengan puasa. Kita bisa melihat permasalahan yang berkaitan dengan puasa, misalnya adalah orang sakit dan orang yang sedang bepergian.

Jika kita melihat tafsir surat Al-Baqarah ayat 183-185 tentang puasa, kita akan mengetahui bahwa orang yang sakit dan safar menjadi salah satu sebab diperbolehkannya berbuka/tidak berpuasa, dengan catatan telah memenuhi ketentuannya. Meski pada akhirnya terjadi perbedaan di kalangan ulama mengenai ketentuan-ketentuan tersebut, namun ini semua memberikan isyarat kepada kita bahwa sekalipun puasa adalah ibadah wajib, namun syariat Islam bukanlah ajaran kaku yang tidak melihat kondisi/keadaan umatnya. Syariat Islam memberi rukhshah atau keringanan untuk kemaslahatan umatnya. Oleh karena itu kita tidak boleh acuh tak acuh untuk mengetahui persoalan-persoalan yang berkaitan dengan puasa. Poin pentingnya, dalam beramal kita harus dengan ilmu.

Pembahasan

Ayat

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ۝١٨٣ أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ۝١٨٤ شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ۝١٨٥

Terjemah:

 183. “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

184. (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

185. Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.

Kosa Kata

(Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa)

 (تفسير القرطبي)

الصيام

(Perbedaan pendapat: ahl kitab, nasrani dan seluruh manusia)

(المسالك في شرح موطأ مالك)

مِنْ قَبْلِكُمْ

Kata iddah adalah bentuk fi’lah dari kata al’ad yang berarti bilangan dengan arti “yang dibilang”. Allah mewajibkan atas orang yag sakit dan musafir mengganti sejumlah bilangan (yang tidak berpuasa pada hari hari yang lain.)

(روائع البيان)

فعدة

Yaitu seluruh bulan Ramadan

(تفسير الطبري جامع البيان)

أيامًا معدودات

Tidak mampu menjalankan puasa bagi lansia/orang sakit yang sulit diharapkan kesembuhannya

( تفسير الجلالين)

يطيقونه

Dari sebagian aspek menyerupai kafarat. Fidiah di sana memberi makan orang miskin.

(روائع البيان)

فدية

1)   Melebihkan untuk satu orang miskin atau lebih banyak dari satu orang.

2)   Melebihkan makanan terhadap satu orang miskin lebih banyak dari ketentuan yang wajib (+ 1 mud).

3)   Barang siapa yang berpuasa serta membayar fidiah adalah lebih baik.

(تفسير القران الكريم اللهميدي)

فمن تطوّع خيرا

Dinamakan Ramadan karena bermakna bulan yang membakar dosa.

(روائع البيان)

رمضان

Ramadan, yaitu melihat bulan.

(روائع البيان)

فمن شهد منكم الشهر

 

Makna Ayat

الفوائد

١ - أهمية الصيام، حيث فرضه الله على الأمم من قبلنا، وهذا يدل على محبة الله له وأنه لازم لكل أمة.

٢ - التخفيف على هذه الأمة، حيث أنها لم تكلف وحدها بالصيام الذي قد يكون فيه مشقة على النفوس والأبدان.

٣ - الإشارة إلى أن الله تعالى أكمل لهذه الأمة دينها، حيث أكمل لها الفضائل التي سبقت لغيرها.

٤ - أن الصيام من أسباب تقوى الله.

٥ - كان فرض رمضان على التدرج، على ثلاث مراحل

أ-فرض صيام عاشوراء، فقد أمر النبي بصيامه.

ب-فرض صوم رمضان على التخيير بين الصيام وبين الفدية، قال تعالى: (وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ …).

ج-التأكد على فرض الصوم بدون تخيير، قال تعالى: (فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

(اللهيميد) تفسير القرآن الكريم - اللهيميد - من الفاتحة إلى النساء ٢/‏١٣٠ — سليمان بن محمد اللهيميد (معاصر) 

1)   Urgensi berpuasa yakni Allah telah mewajibkan puasa terhadap umat sebelum kita, hal ini menunjukkan kecintaan Allah terhadap puasa itu sendiri, dan puasa itu wajib bagi setiap umat.

2)   Keringanan atas umat ini, bahwa umat ini tidak dibebankan berpuasa yang terdapat unsur kesulitan/kesusahan di dalamnya, baik atas jiwa maupun anggota-anggota tubuh.

3)   Isyarat bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama umat ini (Islam), sebagaimana Allah telah menyempurnakan keutamaan-keutamaan berpuasa terhadap umat sebelumnya.

4)   Puasa adalah salah satu dari sebab-sebab bertakwa kepada Allah.

5)   Kewajiban berpuasa secara berangsur-angsur atas tiga tingkatan:

a)      Kewajiban puasa Asyura dan sungguh nabi telah memerintahkannya

b)      Kewajiban berpuasa atas dasar pilihan antara berpuasa dan membayar fidiah, "dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin"

c)      Menguatkan kewajiban berpuasa tanpa adanya pilihan, "barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan itu maka berpuasah".

Sakit dan Safar yang Membolehkan Tidak Puasa

وقد اختلف الفقهاء في المرض المبيح للفطر على أقوال:

أولًا - قال أهل الظاهر: مطلق المرض والسفر يبيح للإنسان الإفطار حتى ولو كان السفر قصيرًا والمرض يسيرًا حتى من وجع الإصبع والضرس، وروي هذا عن عطاء وابن سيرين.

ثانيًا - وقال بعض العلماء إن هذه الرخصة مختصة بالمريض الذي لو صام لوقع في مشقة وجُهد، وكذلك المسافر الذي يُضينه السفر ويُجهده، وهو قول الأصم.

ثالثًا - وذهب أكثر الفقهاء إلى أن المرض المبيح للفطر، هو المرض الشديد الذي يؤدي إلى ضرر في النفس، أو زيادةٍ في العلة، أو يُخشى معه تأخر البرء، والسفر الطويل الذي يؤدي إلى مشقةً في الغالب، وهذا مذهب الأئمة الأربعة.

(الصابوني, ١٩٨٠ م)

Ulama Fikih berbeda pendapat tentang sakit yang membolehkan berbuka:

1)   Ahl dzahir/tekstualis:  secara mutlak mengatakan bahwa sakit dan perjalanan itu diperbolehkan untuk berbuka. Sekalipun perjalanan pendek dan sakit ringan (seperti, penyakit jari, dan sakit gigi). Pendapat ini diriwayatkan oleh: Ibnu Atho' dan Ibn Sirin.

2)   Sebagian ulama berpendapat: bahwasannya rukhshah ini tertentu terhadap sakit yang menyulitkan puasa, begitu halnya dengan perjalanan. Ini diriwaytkan dari Al-'Ashom. 

3)   Mayoritas ulama berpendapat: bahwa sesungguhnya sakit yang diperbolehkan untuk berbuka adalah sakit parah, yang menyebabkan bahaya terhadap dirinya, atau menambahkan penyakit, atau dikhawatirkan tidak kunjung sembuh, dan perjalanan panjang yang pada umumnya dapat menyebabkan kesulitan. Ini pendapat imam mazhab yang empat.

Sebagian ahli ilmu menyatakan sunah berbuka karena firman allah:  

فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَ

Juga hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dan selainnya, Rasuluallah berkata: “Sesungguhnya allah menyukai apabila rukhshah-rukhshah-nya dijalankan sebagaimana dimakruhkannya perbuatan maksiat. Maka bagi orang yang sakit dimakruhkan puasa karena adanya masaqqat. Demikian karena puasa ketika sakit dianggap keluar dari rukhshah Allah dan menyiksa dirinya sendiri. Sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya seperti TBC, Kanker, penyakit gula dan lainnya, apabila dengan berpuasa justru menyulitkan dirinya maka puasa tidaklah wajib. Sebagaimana firman allah : لا يكلف الله نفسا الا وسعها.

Ia berbuka dan memberikan makan orang miskin setiap hari dan tidak ada qada baginya. Karena ia tidak memiliki keadaan yang memungkinkan untuk mengqada puasanya. Sebagaimana firman allah: وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَه فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡن.

Ibn abbas berkata tentang ayat tersebut, ia tidak dinasakh, namun ayat tersebut diperuntukkan untuk lansia yang tidak mampu puasa (HR. Bukhari). Adapun orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya sama halnya dengan hukum lansia, ini pendapatnya mayoritas mazhab. Ibn Qayyim Al-Jauzi berkata: orang sakit tidak ada kewajiban fidiah kecuali ketika dirinya tidak mampu mengqada puasa.  (القصير, تذكرة الصوام بشيء من فضائل الصيام والقيام وما يتعلق بهما من أحكام, ١٤٢١هـ)

وأما السفر المبيح للإفطار فقد اختلف الفقهاء فيه بعد اتفاقهم على أنه لا بدّ أن يكون سفرًا طويلًا على أقوال:

أ - قال الأوزاعي: السفر المبيح للفطر مسافة يوم.

ب - وقال الشافعي وأحمد: هو مسيرة يومين وليلتين، ويقدر بستة عشر فرسخًا.

ج - وقال أبو حنيفة والثوري: مسيرة ثلاثة أيام بلياليها ويقدر بأربعة وعشرين فرسخًا.

(الصابوني, روائع البيان تفسير آيات الأحكام, ١٩٨٠ م)

Ulama sepakat bahwa perjalanan yang di perbolehkan untuk berbuka adalah perjalanan panjang. Namun, ulama berbeda pendapat tentang batasan jarak perjalanan yang diperbolehkan untuk berbuka:

a)    Al Auza'i: sehari.

b)   Imam Syafi'i dan Imam Ahmad: perjalanan 2 hari 2 mlm / 16 farsakh (88 km).

c)    Abu Hanifah dan As-Tsauri: Perjalanan 3 hari 3 malam, kira-kira 24 farsakh (133 km).

وفي الصحيحين عن أنس  قال: «كنا نسافر مع النبي ﷺ فلم يعب الصائم على المفطر، ولا المفطر على الصائم». وثبت في السنن، أن من الصحابة من كان يفطر إذا فارق عامر قريته، ويذكر أن ذلك سنة رسول الله ﷺ. فللمسافر أن يفطر ما دام في سفره ما لم يقصد بسفره التحايل على الفطر، فإن قصد ذلك فالفطر عليه حرام معاملة له بنقيض قصده، والجمهور على أن الشخص إذا قرر الإقامة في بلد أكثر من أربعة أيام فإنه يصوم لانقطاع أحكام السفر في حقه.    

(القصير, ١٤٢١هـ)

Dalam Sahih Bukhari Muslim yang diriwayatkan dari Anas, ia berkata: Sesungguhnya kami bepergian bersama nabi "yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka juga tidak mencela yang berpuas". Dan di dalam As-Sunan bahwasannya dari kalangan sahabat, terdapat sahabat yang tidak berpuasa ketika dia meninggalkan daerahnya. Dan ia menyebutkan bahwa hal tersebut adalah sunnah Rasulullah. Maka bagi musafir boleh tidak berpuasa selama perjalanannya tidak bertujuan untuk maksiat. Maka jika ia bermaksud maksiat, maka tidak puasa haram baginya. Mayoritas ulama berpendapat: apabila ia memutuskan untuk menetap dalam suatu negara lebih dr 4 hari, maka dia harus berpuasa karena terputusnya hukum safar baginya.

Penutup

Puasa adalah ibadah wajib namun ada kondisi tertentu yang memperbolehkan untuk berbuka. Kondisi tertentu tersebut yakni sakit dan safar. Ulama berbeda pendapat terhadap ketentuan-ketentuan sakit dan safar yang memperbolehkan berbuka.

Ulama ahl dzahir berpendapat bahwa sakit dan safar secara mutlak (tanpa ketentuan), memperbolehkan berbuka. Sedangkan jumhur ulama memberikan ketentuan/kategori sakit dan safar. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit parah yang menyebabkan bahaya terhadap dirinya, atau menambahkan penyakit, atau dikhawatirkan tidak kunjung sembuh, dan perjalanan panjang yang pada umumnya dapat menyebabkan kesulitan. Ini pendapat imam mazhab yang empat.

Adapun orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya sama halnya dengan hukum lansia. Ibn Qayyim Al-Jauzi berkata, bahwa “Orang sakit tidak ada kewajiban fidiah kecuali ketika dirinya tidak mampu mengqada puasa”.  Sedangkan untuk safar, Ulama sepakat bahwa perjalanan yang membolehkan berbuka adalah perjalanan panjang. Sedangkan tentang batasan jarak perjalanan, Al-Auza'i menyatakan minimal perjalanannya sehari. Imam Syafi'i dan Imam Ahmad: perjalanan 2 hari 2 mlm / 16 farsakh (88 km). Abu Hanifah dan As-Tsauri: perjalanan 3 hari 3 malam, kira-kira 24 farsakh (133 km). Di dalam as-sunan disebutkan bukanlah perjalanan untuk maksiat.

والله أعلم بالصواب

Penulis: Yayik
Santri Asrama Al-Hikmah, Pondok Pesantren Wahid Hasyim, Yogyakarta.

Posting Komentar

0 Komentar