Tuhan ada di mana-mana. Kita terkadang lupa
atau bahkan tidak tahu, bahwa artinya lebih sederhana dari yang sering dipahami.
Bahwa Tuhan lebih di mana-mana dari yang selama ini kita duga. Ia tak hanya
bersemayam di atas singgasana langit yang kau sebut arasy, tapi juga berada di
majelis ilmu yang kita sebut madin. Lebih dekat lagi, ia ada pada kitab Tadzhib
yang tengah kau maknai. Ia pun ada pada diriku yang tengah merangkum situasi. Ia
ada dalam diri temanmu yang sedang mengajar. Tentu pada dirimu, Tuhan juga ada.
Ia pun mendengar keluhmu yang ingin segera pulang.
Entah untuk alasan kantuk, atau untuk menepati
janji pada tugas kuliah yang belum kau sentuh, ia mendengarmu dengan jelas,
bahkan untuk sambat paling lirih di dasar hatimu. Ia ada dan mendengar semua
keluh di malam itu. Termasuk keluh dari seorang teman, yang malam itu tengah
menjalankan amanah untuk jadi gurumu. Mungkin kau tak tahu bahwa ia juga
mengeluh, begitupun denganku, karena empatiku hanya mampu menduga-duga. Duganya
adalah, sangat mungkin ia mengeluhkan sikap kita yang tak mau sabar. Padahal ia
hanya ingin membacakan satu fasal lagi, tanpa mengartikannya, tanpa menjelaskannya,
lalu berkata Allahu a’lam bishawab. Bukankah itu sudah jadi kebiasaannya
sebelum mempersilakan kita pulang kan?
Saat itu, Tuhan ada dalam diri temanmu, dalam
diri teman kita, guru kita. Ia menyaksikan wajah kita sebagaimana yang guru
kita saksikan malam itu. Ia menyaksikan ekspresi cemberut dan mendengar suara ketidaksabaran
kita. Di waktu yang sama, ia juga mengingat bagaimana ekspresi kita ketika sedang
merayunya dalam doa. Ketika kita sedang memasang wajah melas sambil membisikkan
keinginan terserakah kita. Tentu Ia juga mengingat, bagaimana sebelumnya kita
melantunkan puja- puji dalam sembah kita pada-Nya. Dan tak lama kemudian, di
hadapannya kita berubah jadi pribadi yang sama sekali berbeda. Yaitu ketika kita
ekspresikan kesal dan ketidaksabaran pada-Nya. Iya, pada- Nya. Pada-Nya melalui
tubuh teman kita, yang tengah menunaikan tugas mengajar malam itu. Sebab Tuhan
yang kita sembah itu, juga ada dalam diri teman kita.
Aku pun juga sama kawan, jika ada santri yang
begitu tulus, sabar, dan memuliakan gurunya saat mengaji tentu itu bukan aku. Jika
aku ditanya kepada siapa tulisan ini ditujukan, maka kelima jari tangan ini akan
menunjuk diriku sendiri, sedangkan lima lainya untuk engkau, yang bersedia membaca
catatanku ini hingga tuntas. Ini untuk kita. Untuk madin kita. Untuk suasana
belajar-mengajar yang lebih bermartabat.
Tentu bukan maksudku untuk melarang kalian
mengeluh, sebab aku pun melakukannya. Hanya saja, menembakkan keluhan tanpa
mukadimah hanya akan menodai keanggunan kita kawan, keberkahan majelis ilmu
kita pun akan berkurang, percayalah. Sampaikanlah keluhan itu dengan bebas dan
tegas, setelah terlebih dahulu kau memohon izin untuk menyampaikannya. Tangan
kananmu itu, angkatlah, sebagai isyarat pada gurumu bahwa kau hendak
mengutarakan sesuatu, bahwa jam belajar sudah purna, dan kau ingin istirahat
segera. Aku yakin jika kau melakukannya dengan tapat, gurumu akan mengerti.
Karena bagaimanapun, kau telah menyampaikan hal yang benar. Karena bagaimanapun,
Tuhan tak hanya ada dalam diri gurumu, di dalam dirimu, ia juga ada. Terlebih
ketika kau melakukan dan mengucapkan kebenaran, hampir-hampir kau jadi citra
Dirinya yang sempurna.
Penulis: Ahmad Dafa Audi Hafiz
Santri Asrama Al-Farabi, Pondok Pesantren Wahid Hasyim, Yogyakarta.
0 Komentar