Latar Belakang
Saat ini dunia tengah dihadapkan pada krisis multidimensi. Terlihat jelas sejak awal 2020 lalu, ketika kita dipaksa melakukan adaptasi kebiasaan baru oleh pandemi Covid-19. Belum selesai dengan masalah wabah, dunia kembali digemparkan oleh meletusnya perang Russia-Ukraina yang berujung pada krisis pangan. Sementara itu di bidang teknologi hari ini, pesatnya perkembangan kecerdasan artifisial memberi kekhawatiran akan hilanganya banyak lapangan pekerjaan.
Semua masalah di atas, jika dikombinasikan dengan PR umat manusia tentang pemanasan global, kesenjangan pendidikan, konflik antaragama, serta tergesernya kearifan lokal oleh budaya pop, semestinya membuat kita sadar bahwa tak ada lagi gerakan tunggal (solo-movement), baik oleh kelompok atau ideologi tertentu, yang mampu menyelesaikan krisis ini sendirian. Peran dari setiap lapis masyarakat diperlukan, semua disiplin ilmu mesti dibuat benang merahnya, masyarakat dunia harus bersatu, bertransformasi bersama dalam satu visi, yaitu merumuskan solusi multidimensi untuk mengatasi krisis multidimensi.
Transformasi kolektif semacam ini hanya akan menjadi utopis jika tidak dimotori oleh pihak yang tepat, yang mampu merangkul semua dan menggerakkan semua. Pihak yang tidak hanya menjadi agen perubahan, melainkan juga provokator perubahan yang mampu memantik api transformasi pihak lainnya. Untuk itu, ia mesti membuktikan dengan data sejarah, bahwa ia istikomah mentransformasi diri untuk menjawab tantangan setiap zaman, memiliki sikap adaptif dan kolaboratif, serta konsisten berkontribusi pada kemaslahatan umat manusia. Pihak ini, sejauh pengamatan penulis, tidak lain adalah institusi pesantren, terutama yang ada di Indonesia.
Meski pesantren memiliki kualitas yang memumpuni untuk mewujudkan visi yang mulia ini, tetapi itu belum cukup untuk membuatnya tampil sebagai juru selamat dari krisis multidimensi. Masih ada beberapa hal yang perlu ditransformasi, dalam konteks ini, hal itu adalah literasi yang diajarkan. Demikian karena dalam kurun tujuh tahun terakhir, dunia telah banyak berubah. Sedangkan literasi yang diajarkan pesantren, pada umumnya hari ini, belum cukup untuk menyikapi perubahan besar tersebut. Banyak pesantren yang masih fokus mengkaji agama dalam kitab kuning saja. Beberapa sudah tanggap untuk mempelajari ilmu-ilmu umum, mengkaji kearifan lokal, dan membaca berita aktual, tetapi hanya menempatkannya di kurikulum sekolah yang berada di luar dinding pesantren.
Tansformasi literasi yang adaptif dan integratif perlu segera dirumuskan dan diterapkan, tidak hanya di luar dinding, tetapi di musala-musala, aula santri, bahkan hingga ke bilik paling suci yang dimiliki oleh pesantren. Hal ini perlu dilakukan, jika pesantren memang ingin mengambil peran sebagai “sang messiah”.
Sejarah Transformasi Literasi Pesantren
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa transformasi kolektif ini memerlukan provokator, yang memiliki catatan transformasi yang berkontribusi menjawab tantangan zaman. Ini bukan hal baru bagi pesantren di Indonesia. Bahkan yang mengejutkan, transformasi yang dilakukan tidak hanya terjadi di ranah struktural, tetapi terutama terjadi pada literasi yang diajarkan. Sejauh analisa penulis, pesantren di Indonesia setidaknya telah mengalami tiga era transformasi literasi, yaitu:
1. Transformasi Literasi Era Kolonial: Paham Kemerdekaan dan Nasionalisme
Pada masa ini pesantren yang sebelumnya hanya fokus mengajarkan akidah dan fikih, bertransformasi menjadi institusi yang juga mengajarkan paham kemerdekaan. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gus Jauhar, bahwa saat itu banyak ulama Indonesia menyertakan visi kemerdekaan dalam mukadimah kitabnya. Atau sebagaimana yang terdokumentasi dalam banyak film dan cerita oral, bahwa di masa penjajahan, para Kiai membangun pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan agama, melainkan juga sebagai basis pembelajaran nilai-nilai nasionalisme serta pengkaderan bagi pejuang kemerdekaan.
2. Transformasi Literasi Pasca Kemerdekaan: Budaya dan Bahasa
Setelah merdeka, Indonesia perlu menjalin hubungan baik dengan banyak negara, yang dilakukan melalui interaksi budaya dan bahasa. Keperluan ini sontak meningkatkan kebutuhan SDM yang menguasai bahasa asing, terutama bahasa Inggris, serta kebutuhan untuk merawat setiap kearifan lokal agar tetap eksis di tengah globalisasi.
Untuk menguasai bahasa asing, pesantren sebelumnya memang telah mengajarkan literasi bahasa Arab dalam kurikulumnya, namun hal ini belum cukup. Pesantren kemudian mulai membuka diri pada literasi bahasa asing lainnya, yang sebelumnya dinilai haram untuk dipelajari karena dianggap budaya kaum penjajah. Dalam hal ini, KH. Hasyim Asy’ari adalah penggagas diajarkannya literasi bahasa Inggris di lingkup pesantren.
Selain literasi bahasa asing, institusi pesantren yang dimotori oleh Nahdlotul Ulama, mulai melakukan upaya kajian dan pelestarian terhadap budaya lokal. Hal ini ditandai dengan dibentuknya Lesbumi pada 26 Juni 1962.
3. Transformasi Literasi Pasca Reformasi: Pendidikan Politik
Gejolak demokrasi yang terjadi pada tahun 1998 menyadarkan pesantren akan pentingnya pendidikan politik. Demikian karena demokrasi, yang berbasis pada pemerintahan rakyat, hanya akan berjalan secara ideal dan stabil, jika rakyat sebagai tokoh utamanya melek akan literasi politik. Maka dapat dilihat bahwa pesantren, baik melalui pengajian kitab maupun lewat sekolah yang dinaunginya, pasca reformasi setidaknya giat mengajarkan mengenai 3 hal pokok, yaitu; soal bentuk negara, peran dan relasi ideal di antara umat-ulama-umara, serta pemahaman mengenai pancasila sebagai ideologi yang ideal bagi bangsa Indonesia. Ketiga hal ini memang tidak dapat dipastikan ada pada kurikulum setiap pesantren, namun setidaknya pada pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlotul Ulama, yakni organisasi Islam dengan massa paling banyak di Indonesia, bahkan dunia, ketiga hal pokok tadi dapat dengan mudah ditemui.
Transformasi Literasi Pesantren: Integrasi-interkoneksi 4 Kitab Warna dengan Kearifan Lokal
Secara historis pesantren berhasil membuktikan bahwa institusinya telah konsisten mentransformasi diri. Meski demikian, transformasi literasi pesantren belum berhasil mengintegrasi-interkoneksikan keilmuan umum dengan Islam. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kitab-kitab yang dikaji, hampir dapat dipastikan semuanya masih fokus menukil pendapat ulama-ulama terdahulu, tanpa adanya silang pendapat dari riset dan kajian terkini. Sentimen-sentimen terhadap keilmuan tertentu juga masih kerap ditemui. Seperti sentimen pada filsafat, yang kerap dinilai haram padahal berguna dalam menelaah problem multidimensi.
Sementara itu, pelestarian dan kajian terhadap kearifan lokal, baru dilakukan secara terpisah oleh lembaga kebudayaan seperti Lesbumi. Meski memiliki relasi kultural dengan komunitas pesantren, tetapi lembaga seperti ini tidak memiliki peran dalam membentuk kurikulum pesantren. Hasilnya, lembaga kebudayaan hanya diisi oleh mereka yang sejak awal memang memiliki minat pada kearifan lokal, sedangkan masyarakat umum dan santri lain yang tidak berminat pada kearifan lokal, akan tetap teralienasi dari literasi kebudayaannya sendiri.
Apa pengaruhnya meningkatkan literasi kebudayaan dengan mengatasi krisis multidimensi? Pertanyaan tersebut sangat wajar dilontarkan, mengingat budaya sendiri memang tidak secara langsung berhubungan dengan krisis multidimensi. Meski begitu, ketika mempertimbangkan luasnya materi yang termuat dalam dimensi budaya, serta fakta bahwa budaya menjadi faktor kuat yang mempengaruhi peradaban, termasuk kemajuan dan keruntuhannya, maka dimensi budaya perlu mendapat perhatian lebih. Dalam persoalan kali ini, setidaknya kita dapat menyebut tiga fakta yang patut dipertimbangkan, ketika membicarakan pengaruh budaya terhadap krisis multidimensi, yaitu:
1. Dimensi budaya adalah salah satu yang terdampak krisis
2. Budaya membentuk karakter bangsa hingga ke tingkat individu
3. Budaya bukan gagasan yang mapan, sehingga perlu dievaluasi dan dikontrol
Alasan pertama untuk memperhatikan dimensi budaya sebagai langkah mengatasi krisis multidimensi, adalah karena dimensi budaya adalah salah satu dimensi yang terdampak krisis. Kita lihat saja ada berapa budaya yang terancam punah, atau terancam kehilangan status kepemilikannya karena klaim oleh negara lain? Ada berapa bahasa lokal, yang juga masih bagian dari budaya bangsa, yang terancam punah karena tak lagi ada yang menuturkan? Atau ada berapa pengetahuan kuno yang tak lagi dapat kita akses, karena bahasa dari naskah yang melestarikannya sudah tak ada yang mengerti? Sederet pertanyaan ini masih akan bertambah panjang, terlebih jika kita belum juga mau menganggap serius persoalan ini.
Selain karena budaya itu sendiri merupakan dimensi yang mengalami krisis, fakta bahwa budaya turut membentuk karakter bangsa hingga ke tingkat individu, juga peting untuk dipahami dampak-dampaknya. Seperti pada budaya masyarakat pesisir, baik yang berupa perayaan, ritual, maupun yang tertuang dalam bentuk syair, seringkali mengandung pesan moral mengenai relasi ideal nelayan dengan ekosistem laut.
Hal ini dapat dilihat pada budaya Petik Laut masyarakat Muncar, yang mengandung pesan bahwa hubungan manusia dengan laut itu bersifat timbal-balik, bahwa lautan telah memberi banyak rezeki pada manusia, maka manusia juga perlu menjaga kelestarian laut sebagai balasannya. Atau pada lagu Tanduk Majeng masyarakat Madura, yang menceritakan jerih payah nelayan yang bertaruh nyawa untuk mendapatkan ikan. Sebuah lagu yang semestinya membuat kita lebih memperhatikan kesejahteraan nelayan, lebih-lebih, mensyukuri hasil laut yang dibawanya.
Baik budaya petik laut maupun syair dari lagu Tanduk Majeng, memiliki potensi besar untuk membentuk individu yang berbudi luhur, yang dalam hal ini berarti peduli pada ekosistem laut. Tentu ini baru budaya di lingkup masyarakat pesisir, di sisi yang lain masih ada budaya masyarakat pegunungan, pedesaan, maupun perkotaan, yang jika direnungkan memiliki banyak nilai moral di dalamnya. Di satu sisi ada budaya yang bersinggungan dengan dimensi pelestarian alam, di sisi lain ada budaya yang bersinggungan dengan dimensi pendidikan, dan ada juga yang ternyata mengandug nilai politis. Tiap-tiap nilai moral dari beragam budaya yang berbeda ini, dapat menjadi solusi dari setiap problem pada tiap dimensi. Tinggal bagaimana manusia dapat memahami nilai moral tersebut, lalu menerapkannya sebagai solusi praktis untuk menyelesaikan krisis multidimensi secara utuh.
Kemudian fakta ketiga, terkait pengaruh budaya terhadap krisis multidimensi, adalah bahwa budaya itu sendiri bukanlah gagasan yang mapan sehingga perlu dievaluasi, terutama jika budaya tersebut ditinjau berdasarkan paradigma keilmuan pesantren. Sebelumnya kita telah mempelajari, bahwa budaya dapat membentuk pribadi seseorang melalui kandungan nilai moralnya. Yang perlu diketahui kemudian, bahwa budaya tidak hanya memiliki nilai moral yang mengajarkan budi pekerti luhur, tetapi ada juga nilai-nilai yang bertentangan dengan moralitas tertentu, seperti moralitas agama, terutama Islam.
Misalnya pada budaya Petik Laut masyarakat Muncar, yang pada uraian sebelumnya telah diketahui mengandung ajakan untuk melestarikan alam. Meski demikian, jika dilihat pada praktiknya yang turut menyertakan upacara pemberian sesajen, maka budaya ini jika tidak dimaknai dengan benar dapat menjerumuskan manusia pada kesyirikan. Terlebih mengingat fakta bahwa pelaku budaya petik laut ini sendiri sebagian besar adalah masyarakat Islam. Oleh karena itu, kontrol ulama dan pemangku kebudayaan dalam hal ini diperlukan untuk mengedukasi masyarakat, dengan cara memberikan makna Islami pada tiap rangkaian budaya.
Pada sesi pemberian sesajen ke laut, ulama perlu mengedukasi umat bahwa ini bukan bentuk pemujaan terhadap lautan, melainkan bentuk mensyukuri hasil laut dengan cara memberi makan ikan dengan sesajen. Penekanan makna yang tidak melanggar syariat Islam ini perlu dilakukan, agar jangan sampai Petik Laut, sebagai media edukasi untuk mengatasi krisis alam, justru menghadirkan krisis akidah bagi umat Islam yang turut merayakannya. Kontrol dan evaluasi budaya semacam ini juga perlu diterapkan pada budaya lainnya. Demikian karena budaya tidak lain dari produk manusia, yang mungkin memiliki celah-celah moral baik pada pelaksanaan maupun nilai yang dikandungnya.
Sekarang telah jelas, bahwa literasi yang diajarkan pesantren masih memiliki peluang untuk di-upgrade. Jelas juga bahwa kajian serta kontrol terhadap budaya dapat menjadi solusi untuk mengatasi krisis multidimensi. Pemahaman mengenai dua hal tersebut dapat dikombinasikan sebagai dasar bagi transformasi literasi pesantren berikutnya. Yaitu sebuah integrasi-interkoneksi antara keilmuan Islam, budaya, serta sains berdasarkan kajian terkini. Ada dua cara untuk mewujudkan transformasi literasi ini, yaitu dengan mengajarkan literasi 4 kitab warna, atau membuat kitab baru.
Langkah pertama adalah dengan mengajarkan literasi 4 kitab warna. 4 kitab warna ini merujuk pada 4 disiplin dasar, yang dinilai perlu diketahui untuk mengatasi krisis multidimesi, yaitu kitab kuning yang mengajarkan ilmu agama, kitab putih yang mengajarkan ilmu-ilmu umum meliputi sains, fisika, psikologi, filsafat, politik, dan kearifan lokal, kitab hijau yang fokus memberikan literasi soal ekologi dan pelestarian lingkungan, serta kitab merah yang memberikan literasi terkait sosialisme.
Kempat kitab tersebut memilki peran tersendiri dalam mengatasi krisis multidimensi. Dengan mempelajari kitab kuning, para santri dapat memiliki literasi keagamaan yang memumpuni, baik dari segi akidah, fikih, maupun tasawuf. Dalam meningkatkan literasi kebudayaan dan kearifan lokal, hal ini berguna untuk memberikan dasar teologis. Seperti apa sikap Nabi dalam memandang khazanah budaya masyarakat di zamannya? Apakah Nabi serta-merta melarang, atau melakukan upaya Islamisasi dengan menghilangkan unsur-unsur syirik di dalamnya? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat terjawab dengan mempelajari kitab kuning.
Yang kedua adalah kitab putih, yang mengajarkan ilmu-ilmu umum. Lihat saja, dunia hari ini bergerak menyesuaikan perkembangan saintek dan humaniora. Dulu, kita perlu menebang pohon untuk menuliskan ide ke dalam lembaran kertas, hari ini, berkat bantuan ayat-ayat teknologi semua pengetahuan dapat abadi dalam bentuk digital. Dulu kakek-nenek kita menggunakan primbon untuk mengetahui kepribadian seseorang, sekarang, dengan mengaji ayat-ayat psikologi, kita dapat menyelami isi hati orang lain hingga ke relung terdalamnya. Dulu keinstanan mesin pencari Google sudah cukup membuat generasi 90-an terkejut, tapi sekarang itu sudah biasa jika dibandingkan dengan kehebatan ChatGPT.
Dengan memanfaatkan perkembangan saintek dan humaniora, dakwah yang dilakukan oleh pesantren semestinya dapat berjalan lebih efisien. Coba bayangkan, para santri yang ingin berdakwah, tidak perlu lagi repot-repot membawa setas penuh kitab kuning, karena sekarang semuanya bisa disimpan dalam segenggam gawai. Perkembangan ilmu retorika, psikologi, dan public speaking, juga sangat membantu untuk menyampaikan materi dakwah ke hadapan umat. Dalam mencari referensi kearifan lokal yang relevan dakwahnya santri bisa memanfaatkan ChatGPT, sedangkan agar cakupan dakwahnya luas bisa menggunakan IG atau TikTok.
Yang ketiga adalah kitab hijau, yang mengajarkan soal ekologi dan upaya pelestarian lingkungan. Upaya pelestarian lingkungan adalah tanggung jawab setiap manusia, termasuk santri. Pengetahuan atas disiplin ekologi adalah dasar untuk memulai gerakan ini. Institusi pesantren dalam hal ini bisa mengintegrasikan pengetahuan ini dengan ajaran islam, baik berupa hadis maupun ritual, yang menunjukkan bahwasannya Islam adalah agama yang eco-friendly. Seperti aktivitas wudu misalnya, yang memberi isyarat agar kita menjaga kebersihan sumber mata air. Sebab bagaimana kita bisa berwudu jika sumber air bersih saja tidak ada. Atau untuk memahami dampak ekologis dari setiap budaya dan kearifan lokal. Misalnya tradisi petik laut, yang semestinya membawa kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ekosistem laut.
Dalam hal ini, masyarakat pesantren tidak perlu memilih salah satu, namun sudah semestinya mengintegrasi-interkoneksikan keduanya. Misalnya kita bisa bertanya, hadis-hadis apa saja yang berkaitan dengan dampak ekologis dari tradisi petik laut? Terlepas dari seperti apa jawabannya, upaya untuk menjawab pertanyaan ini akan meningkatkan literasi santri atas budaya dan dampak ekologisnya.
Kemudian yang terakhir adalah kitab merah, yang mengajarkan perihal paham sosialisme. Sebenarnya seberapa pentingnya mempelajari sosialisme itu? Di tengah dominasi paham kapitalisme, ini penting setidaknya sebagai penyeimbang wawasan dan pola berpikir kita. Sosialisme yang berisi ajaran mengenai alur rangkai produksi, pemanfaatan nilai lebih, serta relasi ideal antara pemilik modal dengan pekerja, membuat kita lebih memperhatikan nasib buruh dan menjaga agar transaksi jual-beli minim dari mafsadat.
Islam jelas memperhatikan masalah ini sama seriusnya dengan sosialisme. Hal ini dapat dilihat melalui fikih terkait jual beli, riba, atau bagaimana seharusnya pembagian hasil usaha antara pemilik modal dengan pekerjanya. Sementara itu, beberapa komunitas masyarakat jelas memiliki seperangkat aturan adat mengenai pembagian hasil produksi. Hal ini misalnya dapat dilihat dari komunitas adat Padanguni di kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Apakah aktivitas pembagian hasil produksi yang dilakukan oleh masyarakat Padanguni sudah sesuai syariat? Apakah selaras dengan hukum sosialisme? Sekali lagi, tidak peduli apa jawabannya, upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut tentu akan meningkatkan literasi kebudayaan masyarakat pesantren.
Selain mengajarkan literasi 4 kitab warna sebagaimana uraian di atas, institusi pesantren dapat melakukan transformasi literasi dengan menulis kitab kuning baru, yang telah disesuaikan dengan riset dan kajian terkini. Langkah ini, bisa dimulai dengan menambahkan temuan sains dan kajian terkini pada kitab-kitab yang sudah ada. Misalnya, pada pembahasan terkait hak dan kewajiban suami-istri dalam kitab Uqudulujain, kita bisa saja menambahkan perspektif ilmu psikologi mengenai hubungan suami-istri yang ideal. Sehingga dalam satu kitab setidaknya dapat ditemukan pendapat mushonif, dalil nas, dan perspektif keilmuan berdasarkan kajian terkini.
Jika upaya di atas berhasil, kita bisa saja menyebut hasilnya sebagai Uqudullujain 2.0, atau Uqudullujain versi kontemporer. Semantara mengenai literasi budaya dan kearifan lokal dapat kita jadikan contoh kasus. Misalnya, bagaimana interaksi usami-istri dalam adat masyarakat Bali, ketika ditinjau dari perspektif Uqudullujain 2.0? menghidupkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu jelas selain menumbuhkan literasi kebudayaan, santri juga akan lebih terlatih untuk mengkontekstualisasikan ilmu agama yang dipelajarinya pada persoalan terkini. Untuk itu, jelas peran institusi pesantren, melalui pengurus dan keluarga ndalem, berpengaruh besar pada sukses atau tidaknya upaya ini.
Mengatasi Krisis Multidimensi
Dengan berhasil melakukan transformasi literasi yang mengintegrasi-interkoneksikan 4 kitab warna dan budaya lokal, pesantren akan menjadi pihak yang telah terbiasa menilai persoalan secara multidimensial. Dengan ini pesantren beserta segenap masyarakatnya, yaitu santri dan kiai, telah membuktikan dirinya siap untuk aktif mengatasi krisis multidimesi bersama warga dunia. Dengan kata lain, tinggal pesantren mau atau tidak menghabiskan lebih banyak tenaga untuk mengatasi masalah, yang tidak hanya ada di Indonesia melainkan juga dunia?
Dalam hal ini, penulis optimis bahwa pesantren siap menerima amanah besar ini. Setidaknya, iktikad ini sudah dapat terlihat pada pesantren-pesantren yang terafiliasi dengan Nahdlotul Ulama, yang pada bulan Februari kemarin menyelenggarakan Muktamar Internasional Fikih Peradaban 1. Ini adalah forum bagi ulama-ulama dunia, untuk mendiskusikan masalah umum yang dihadapi umat Islam dan dunia. Dari forum tersebut, setidaknya dapat disimpulkan bahwa pesantren Indoneisa memiliki kemauan untuk berkolaborasi dengan komunitas global, untuk solid mengatasi masalah bersama.
Kesimpulan
Krisis multidimensi yang terjadi secara global perlu diatasi dengan solusi multidimensi yang juga mengglobal. Perumusan solusi multidimensi ini hanya dapat dilakukan secara kolektif oleh masyarakat dunia seluruhnya. Pesantren berpeluang untuk menjadi provokator perubahan, yang aktif menggerakkan masyarakat dunia untuk bersatu mengatasi masalah bersama.
Meski begitu, ada syarat yang perlu ditempuh Pesantren untuk dapat menjadi juru selamat dunia, yaitu melakukan Transformasi Literasi yang berbasis pada integrasi-interkoneksi 4 kitab warna dengan kearifan lokal. Apabila transformasi ini berhasil, maka pesantren dapat dikatakan telah terbiasa untuk mengatasi setiap persoalan secara multidimensi. Hal ini menjadi bekal berharga untuk memimpin dunia mengatasi krisis multidimensi secara kolektif.
Penulis: Ahmad Dafa Audi Hafiz
Santri Asrama Al-Farabi, Pondok Pesantren Wahid Hasyim, Yogyakarta.
0 Komentar