Pukul 21.00
Gemuruh lantunan Sholawat Burdah para santri menggemai asrama Al-Hikmah Pondok Pesantren Wahid Hasyim, yang terletak di salah satu sudut kota Yogyakarta. Alhamdulillah, Kegiatan hari ini telah selesai.
Pukul 23.30
“Shodaqollahul ‘adzim” Soraya menutup Alqurannya. Hari ini ia nderes lebih lama dari biasanya, sebab Minggu depan ia akan melaksanakan tasmi’ 30 juz bil ghaib. Setelah dirasa cukup deresan hari ini, Soraya memutuskan beranjak dan kembali ke kamar untuk istirahat.
Namun,
“Tsumma……..Tsumma…….Tsumma Auro……Tsumma Aurotsnal kitaballadzi……” Terdengar suara tebata-bata hafalan Al-Qur’an yang diiringi dengan sesenggukan. Malam-malam begini lorong asrama tentu sudah sepi karena umumnya semua santri telah terlelap dalam tidur. Kegiatan asrama yang begitu padat dan melelahkan, menuntut mereka harus mampu memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Lantas, siapa yang malam-malam begini sesenggukan dan terbata-bata menghafal?
Soraya menghentikan langkahnya dan memerhatikan sekitar. Matanya menyapu lorong asrama hingga akhirnya berhenti pada satu titik disamping tangga, pikirannya menduga dan benar saja. Fatiya!
“lho Fat, sampeyan belum tidur ta?”
Fatiya menghentikan hafalan Alqurannya kemudian mendongakkan kepalanya dan menatap Soraya yang berdiri di depan.
“Mbak, ayatnya susah banget diapalke.” Fatiya mendengus lemah “Juz 22 iki lho mbak, padahal murojaah tapi rasane kayak nambah, bikin hafalan baru. Aku pengen nyerah” sambil menangis Fatiya menceritakan masalahnya.
Soraya yang awalnya berdiri kemudian duduk disamping Fatiya dan merangkulnya
“Ayatnya kangen itu, Fat.. Makanya pengen sampeyan ngapalke lama-lama disitu terus” ujarnya sembari tersenyum hangat dengan sorot mata yang selalu meneduhkan. Soraya paham betul bagaimana kesulitan dalam proses menghafal Al-Quran. Huruf demi huruf hingga menjadi kata, kata demi kata hingga menjadi ayat, ayat demi ayat hingga menjadi halaman, dan seterusnya hingga menjadi hafalan Alquran yang mutqin 30 Juz.
Proses yang cukup panjang dan melelahkan memang membuat banyak orang tidak sanggup bertahan, Soraya juga paham betul persoalan itu. Namun tentu dirinya tidak akan membiarkan sahabatnya menyerah begitu saja.
“Mbak, Aku iri mbek wong kae”
“Iri nopo tho Fat?”
“Nek ngapalke kok enak banget ya, padahal sehari-harinya yo pacaran tapi hafalane lancar terus. Aku sek wes direwangi mempeng ngga aneh-aneh, kok susah banget gini yo mbak. Opo atiku atos banget sampek ilmu ra gelem mlebu?” Mata Fatiya berkaca-kaca mengeluhkan ketidakadilan hasil yang seakan mengkhianati usahanya.
“Hushh, ngomong opo tho sampeyan?” Soraya mengelak tegas dugaan-dugaan buruk yang dipikirkan oleh Fatiya. Lagi, dia kembali menghadirkan sorot teduh di matanya “Udah tak bilangin to Fat, ayatnya kangen” Soraya tersenyum.
Mendengar hal itu kembali, Fatiya menorehkan pandangannya kepada Soraya. Sorot matanya mengisyaratkan ingin penjelasan lain yang lebih dalam. Ia meresa itu hanyalah kalimat penenang yang tidak bisa mengubah apa-apa.
Tangan Soraya yang sedari tadi merangkul Fatiya kini beralih menepuk-nepuk bahu sahabatnya. “Faaat,,,” Panggil Soraya lembut “Wong apalan Quran kui yo ono macem-macem. Ada yang hafalannya lancar banget tapi masih suka maksiat. Jangan heran, memang sudah dijelaskan dalam Alquran, tapi semoga kita ngga termasuk ke dalam golongan itu. Ada juga yang sudah hafal Alquran, tapi kadang masih suka maksiat, kadang juga engga. Iki juga wes dijelaskan dalam Alquran. Ada lagi golongan yang hafal Alquran dan akhlak nya pun mencerminkan Alquran. Semoga kita termasuk kedalam golongan yang ini yo Fat, bener-bener jadi Ahlul Quran. Yang penting kita sama-sama terus belajar dan memperbaiki di…” Soraya tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Kali ini malahan dia yang menangis
“Lho mbak kok malah nangis?” Tanya Fatiya kebingungan.
Soraya tidak menjawab. Kejadian itu berlangsung sekitar dua menit. Hingga ketika ia merasa cukup lega, Soraya baru mengusap air mata di pipinya dan menarik nafas dalam. “Aku tadi merenungkan ayat sing nembe sampeyan apalke. Aku takut mbok aku termasuk wong sing menzalimi diri sendiri.”
Fatiya tercengang mendengar jawaban Soraya. “Ya allah, Mbak.. Sampeyan sing wis koyok ngono wae masih berpikiran gitu, opo meneh aku?”
“Sing penting kita belajar bareng-bareng terus yo. Cobaane wong ngapalke itu beda-beda dan kesulitan dalam menghafal itu hal sing biasa. Belum tentu juga aku luwih bagus saking dirimu. Kesulitanmu dalam menghafal bisa jadi sebagai ladang pahala untukmu. Sebab semakin susah dan semakin lama sampeyan nderes Alquran, semakin terhindar juga sampeyan dari hal-hal sing marai maksiat. Jadi wes paham tho sakiki? Ojo mikir aneh-aneh terus yo” Kembali Soraya tersenyum.
“Iyo mbak aku wis paham, maturnuwun yo” Fatiya memeluk erat Soraya karena merasa beruntung memiliki sosok sahabat seperti itu. Mereka berpelukan hangat, saling menguatkan dan menyemangati untuk tetap istiqomah di jalan yang insyaallah akan mengantarkan mereka meraih ridho-NYA.
Malam itu di antara sunyinya kota Jogja, Ah tidak! Kota Jogja tidak pernah sunyi, apalagi di jantung kota seperti ini, tapi setidaknya malam itu menjadi lebih tenang. Desiran angin yang berhembus serta gemerlapnya bintang menjadi saksi bahwa mereka adalah sepasang sahabat dunia akhirat. Oh iya! Bulan pun ikut tersenyum menyaksikan mereka.
>>>
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا ۖ فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar” (Q.S. Fathir Ayat 32 Juz 22)
*Cerita ini dibuat ketika penulis tiba-tiba teringat nasihat gurunya saat masih belajar di Pondok Pesantren Remaja Tahfidzul Qur’an Raudlatul Falah Pati-Jawa Tengah, Al-Fatihah.
Penulis: Malia
Anisa (@mal.khumairaa)
Santri Asrama
Al-Hikmah (Tahfiz), Pondok Pesantren Wahid Hasyim Yogyakarta
0 Komentar