Ad Code

Responsive Advertisement

Peran Ideal Masyarakat Pesantren di Tahun Politik



Apa yang bisa dilakukan masyarakat pesantren pada tahun politik 2024? Pertanyaan ini mestinya dipikirkan oleh segenap masyarakat pesantren, mulai dari santri, pengurus, keluarga ndalem, alumni, serta siapa saja yang peduli pada lembaga dakwah dan pendidikan Islam ini. Sebab hasil dari pemilu di tahun politik ini nantinya, sedikit banyak, akan mempengaruhi arah gerak pesantren selama lima tahun ke depan.

Sebab tidak bisa dipungkiri, bahwa kegiatan dakwah dan pembangunan pesantren, banyak mempertimbangkan kebutuhan dan masalah konkrit yang muncul di tengah umat. Sedangkan kebutuhan dan masalah umat, akan banyak dipengaruhi kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah. Apakah kebijakan itu dapat menjawab kebutuhan dan mengatasi masalah? Atau justru kebijakan itu yang menjadi sumber masalah?

Dalam menjawab keresahan inilah masyarakat pesantren mesti mengambil peran. Namun peran yang seperti apa? Berikut pendapat Ustaz Amad Jauhari Umar, Lc., M.A. ketika diwawancarai oleh redaktur kami, Dafa.

oOo

Apa peran ideal yang bisa dimainkan oleh masyarakat pesantren di tahun politik 2024?

Orang pesantren harus ada yang bergerak di bidang politik aktif, dengan menjadi caleg, bupati, atau bahkan presiden. Kontribusi aktif itu mungkin hanya bisa dilakukan oleh beberapa orang, tetapi ini penting. Karena dulu ketika orde baru, orang-orang pesantren tidak mendapatkan posisi strategis di struktur pemerintahan, sehingga tidak ada yang menyuarakan hak-hak kita, ini yang pertama.

Lalu yang kedua adalah berkontribusi pasif, dengan cara memberi dukungan kepada beliau-beliau yang berkontribusi aktif. Jangan sampai orang pesantren yang berkontribusi aktif tidak mendapat dukungan, terutama ketika beliau-beliau memang mempunyai visi-misi yang jelas.  

Beberapa orang menilai Kiai tidak perlu turun tangan ke ranah politik, sebaliknya, justru menurut saya kiai itu harus terjun ke politik. Karena peran Kiai itu ada dua, pertama kiai tandur, yaitu kiai yang ngurusi santri, ngaji, ngajar majelis taklim, ngajar pesantren, dan ndidik anak-anak supaya menjadi orang-orang alim. Di sisi lain ada sosok kiai catur, yaitu kiai yang berkontribusi aktif dalam pesta politik.

Ada kutipan dari Ihya Ulumuddin, yang artinya “kemuliaan dan jabatan seseorang membebaskan kehinaan dan kesedihan dari dirinya sendiri. Dan seorang muslim pasti memerlukannya.” Artinya kita nggak dilarang untuk berkontribusi aktif dalam struktur pemerintahan. Justru kalau kita nggak mau terjun, ya sudah, lama-kelamaan orang pesantren tidak leluasa seperti hari ini mengadakan pengajian, membuat madrasah, atau membangun pesantren.

Cuma yang menjadi catatan, jangan sampai kita termakan isu perpecahan. Seperti yang sering saya ceritakan. Kenapa ada perpecahan? Ada Ahlussunnah wal Jamaah, ada Syiah, lalu kemudian ada Khawarij. Itu karena konflik kepentingan.

Bahwa konflik aswaja itu bukan karena dogma agama, tetapi karena kepentingan, conflict of interest. Karena kepentingan yang membuat kita terpecah. Kita sama-sama Islam, karena ada kepentingan jadi terpecah, yaitu beda ormas. Misalkan ormasnya sama, sama-sama NU nih, karena partainya beda, pecah juga. Bahkan partainya sudah sama, tetapi calegnya beda, pecah juga. Kalau kita seperti ini seakan surga mau ditempati sendiri.   

Apa pertimbangan teologis yang anda pakai untuk menyikapi persoalan pemilu ini?

Disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 59; ya ayyuhalladzina amanu ‘athi’ullah wa ‘athi’urrosul wa ulil amri minkum. Artinya taatilah Allah, taatilah Rosulullah, dan taatilah ulil amri, atau kita sebut pemerintah. Faintana za’tum fi sya’in farudduhu ilallah wa rosuli. Ketika ada percekcokan, kembalilah kepada Allah, kepada Rosul. Artinya kita kembali ke ajarannya rosulullah tentang perdamaian, tentang persatuan. Dengan ayat itu, ketika pemerintah mengadakan pemilu, kita wajib berkontribusi dengan cara nyoblos, jangan golput.

Dengan ikut pemilu kita melakukan perintahnya Rasulullah, untuk taat kepada pemimpin. Ingat, negara telah menggelontorkan sekian rupiah untuk mencetak surat suara, untuk memberikan hak kepada kita memilih pemimpin yang kita ridai, itu amanah. Ketika kita golput, berarti kita tidak meletakkan amanah sesuai dengan tempatnya. Itu zalim namanya.

Ada sebagian orang mengatakan; “buat apa milih dia, wong dia kalau jadi itu lupa”, ada orang bicara seperti itu. Terpilih, kemudian lupa, itu urusan lain. Kalau dia jadi terus ingat atau lupa biarkan, kita tawakal sama Allah. Karena kehancuran, kesuksesan, itu bukan ranah kita. Ketika Allah menghendaki suatu negara hancur ya akan hancur, dengan apa pun caranya. Tugas kita diberi amanah oleh negara untuk memilih ketika pemilu, ya harus memilih. Karena itu satu amanah, dua taat kepada pemerintah, itu dalil teologisnya.

Adakah hal yang perlu dievaluasi dari pengalaman pemilu sebelumnya?

Segala yang kita lakukan itu sesuai dengan maqoshid, sesuai dengan tujuan. Ketika ada orang-orang pesantren yang ingin nyaleg, ingin jadi bupati, ingin jadi presiden, niat mereka ingin membantu orang pesantren, ya konsistenlah. Karena niatmu sudah begitu, pas udah jadi idealismemu harus dibawa.

Beberapa orang itu ada yang ketika mau nyalon membawa identitas NU, otomatis masyarakat di daerah itu yang mayoritasnya NU pilih dia. Setelah terpilih, eh ketika masyarakat punya acara nggak pernah didatangi, pengen mengajukan program nggak diterima.

Maka evaluasi orang pesantren adalah niat, terus caranya mesti dilakukan dengan cara yang baik, karena “barang siapa yang awalnya sudah baik, insyaallah akhirnya akan baik”. Tapi sebaliknya, kalau awalnya sudah jelek, ya untuk seterusnya begitu, jadinya su’ul khotimah. Maka dari itu ketika nyaleg, sebagai orang pesantren, satu hal yang paling utama adalah meminta rida para sesepuh dulu, kemudian niatnya diperbaiki dulu, niatnya untuk apa sih?

Lebih penting mana antara niat dengan kontrak politik?

Yang paling utama adalah niat. Adapun kontrak politiknya itu bisa dilobi. Gus Dur ketika nyalon jadi presiden, beliau itu disuruh oleh lima guru sesepuh, beliau nggak nolak. Beliau dateng ke kiai-kiai, dan beliau mesti punya kontrak-kontrak politik yang kita nggak tahu. Tapi yang jelas, yang paling utama sebagai modal langkahnya itu mencari ridanya guru, memperjelas ke situ karena apa, tentu bukan untuk membesarkan ego, atau menyejahterakan keluarga kita.

Gus Dur waktu jadi presiden, baju batike iku-iku wae. Beliau jauh dari yang namanya kesejahteraan. Artinya beliau punya uang berapa pun akan dikasih ke orang. Makanya Gus Dur sampai mengatakan santri itu biasa urip melarat, Cobaannya biasanya ketika dapat hidup enak seringkali nggak kuat, dalam artian lupa diri. Maka dari itu kita harus ingat, modalnya dari kita sendiri sebagai person yang melakukan itu, niatnya harus jelas.

Siapa yang paling bertanggung jawab menyebarkan gagasan politik ini secara luas?

Ya yang paling bertanggung jawab adalah kiai-kiai tandur tadi, ya seperti saya sendiri. Saya punya majelis taklim, saya ngajar ke kalian, salah satu tugas saya untuk memberi tahu soal ini, nanti di sela-sela pengajian saya sisipi. Itu peran yang peling penting dari kiai. Terus kemudian santri, karena santri punya keluarga. Kiainya punya ilmu diberi ke santri, santrinya bertanggung jawab meneruskan ke keluarganya, sehingga gagasan ini tersampaikan secara luas.

Apa yang perlu diwaspadai oleh masyarakat pesantren di tahun politik?

Perpecahan umat, ya sekarang sudah mulai kelihatan kok, misalnya habaib vs kiai. Kita sebagai orang pesantren janganlah seperti itu, kita tetap takzim kepada mereka. Soal secara hukum fikih nasab itu tidak perlu ditanya, karena akan menyebabkan perpecahan. Yang habaib juga tidak perlu bangga diri karena nasabnya bagus. Wong kita punya ilmu terus sombong dengan keilmuan kita itu saja dilarang, apalagi dengan nasab.

Pentingnya persatuan itu karena Rasulullah tidak menginginkan perpecahan. Dulu bahkan Sayyidina Hassan ketika pemerintahan Islam terpecah dengan kubunya Muawiyah, beliau lantas memilih untuk menyerahkan kepemimpinan itu kepada Muawiyah. Bukan karena apa-apa, tapi karena beliau menginginkan persatuan. Maka dari itu, tahun 41 Hijriah disebut sebagai Ammul Jamaah, tahun penyatuan. Pemerintahan yang dulu pusatnya di Damaskus dengan pemimpinnya Muawiyah, dan ada di Madinah yang dipimpin Sayyidina Hassan, kemudian menjadi satu.

Sama ketika dulu Mbah Hasyim berkunjung ke pondoknya Mbah Kiai Fakih Mas Kumambang. Mbah Kiai Fakih itu orang ushul, ushul fikihnya kuat. Sehingga beliau itu menggunakan bedug, sebagai tanda untuk mengundang orang-orang salat ke masjid. Bagi Mbah Hasyim bedug itu tidak ada sumbernya di hadis, karena beliau latar belakangnya adalah orang hadis, hafal Kutubus Sittah. Beliau nggak setuju dengan itu, Mbah Kiai Fakih tahu kalau Mbah Kiai Hasyim nggak setuju dengan bedug. Akhirnya ketika Mbah Kiai Hasyim berkunjung ke pondoknya Mbah Kiai Fakih, Bedug itu ditutupi, untuk menghormati.

Sebagaimana kata Rasulullah, bahwa al-khuruju minal khilaf mustahabbu, keluar dari perbedaan pendapat, percekcokan, perdebatan, itu mustahab, itu sunnah. Jadi ketika ada percekcokan itu kita lebih baik mundur, karena itu sunnah. Bukan malah ikut-ikutan manas-manasi. Kalau hari ini kita melihat “pokoknya saya prinsipnya begini, harus begini,” menurut saya itu tidak sesuai dengan robithoh, prinsip-prisip yang dianut oleh guru-guru kita.

Referensi apa yang perlu dipelajari untuk dapat menyikapi persoalan politik secara bijak?

Kalau kitab sih tidak ada yang spesifik ya, intinya perbanyak ngaji sampai landasan tauhidnya kita kuat. Sebab ketika tauhid kita kuat, kita tidak akan terpengaruh dengan gerakan yang aneh-aneh. Ketika tawakkal kita kepada Allah lemah, kepasrahan kita kepada Allah lemah, akibatnya kita akan banyak khawatirnya. Jangankan urusan politik, kalau kamu tawakkalnya kepada Gusti Allah itu kurang, kamu akan merasa takut dengan masa depan. Aku besok jadi apa? Itu nggak perlu jauh-jauh ke politik, oleh karena itu kita latihannya mulai dari ranah yang paling sederhana saja.

Nah untuk bacaan sendiri, menurut saya yang paling mungkin bisa dikonsumsi oleh masyarakat secara umum itu bukunya Gus Nadirdyah Hosen itu yang Saring Sebelum Sharing. Ini untuk menanggulangi black campaign yang terjadi di tahun politik 2024. Lalu kemudian bukunya Gus Ja’far yang terbaru, untuk membaca situasi awal perpecahan umat Islam, yang judulnya Tuhan Ada di Hatimu. Itu mengajarkan kita, bahwa semua konflik berawal dari tiadanya Allah dalam hati kita. Sehingga yang ada itu Cuma syahwat, hanya nafsu, akhirnya melahirkan nepotisme, melahirkan primordialisme, melahirkan black campaign, dan lain-lain.

Apa harapan bapak mengenai peran masyarakat pesantren pada tahun 2024 nanti? 

Kita perbanyak memahami persatuan dan hilangkan suuzon. Karena menurut saya sebab dari adanya radikalisme agama, adanya hate speech, itu karena suuzon. Suuzon itu akarnya dari hasut, iri. Coba kamu iri sama temenmu, mesti kamu bawaannya suuzon sama dia. Akarnya adalah rasa bangga diri, merasa kamu lebih baik dari dia. Akhirnya timbul rasa iri, dari iri kemudian timbul rasa suuzon. Maka dari itu kalau kita membaca tafsir, semua permasalahan hati yang pertama kali muncul dalam alam semesta ini itu adalah rasa bangga diri. Ana khoirun minhu, yang dikatakan Iblis kepada Sayyidina Adam, yang kemudian membuat Iblis diusir oleh Allah.  

Lalu maknai lagi ibadah yang selama ini kita lakukan, sehingga kita paham esensinya, bukan Cuma sebatas formalitas. Imam ghozali mengatakan, qobla kulli syai’in, anta’lamu dzatal ma’bud qoblal anta’buda. Kamu harus mengawali segala sesuatu itu dengan ilmu, kamu harus tahu zat yang kamu sembah, sebelum kamu menyembahnya. Itulah yang dikatakan dengan ilmu itu sebagai asas, atau vondasi kita, dalam menghadapi segala macam masalah. Kalau nggak ada ilmunya kita jadi mudah ditarik ulur masuk ke dalam black campaign. Kalau pakai ilmu kan sulit dipengaruhi. Maka dari itu ayo kita lihat sesuatu pakai ilmu, jangan cuma pakai emosi, kalau pakai emosi, ya itu nggak perlu lah orang ngaji.

Amad Jauhari Umar, Lc., MA.,
Da'i dan Mu'allim Madrasah Diniyah Daarun Najah

Posting Komentar

0 Komentar