Ad Code

Responsive Advertisement

Urgensi Pendidikan Politik pada Santri



Salah satu lumbung suara yang diperebutkan pada masa pemilu adalah masyarakat pesantren. Bagaimana tidak? Pada awal 2023 saja, Kementerian Agama mencatat jumlah Pesantren sudah menembus angka 36.600 institusi, dengan 3,4 juta santri aktif, dan 370 ribu pengajar. Angka ini belum mencakup alumni pesantren, wali santri, dan masyarakat umum yang dijangkau oleh kegiatan dakwah pesantren, baik secara daring maupun luring.

Dengan jumlah yang sefantastis ini, jelas masyarakat pesantren memiliki andil besar dalam menentukan arah politik Indonesia. Hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri bagi internal pesantren maupun pemerintah, dalam memberikan akses pendidikan politik, terutama pada para santri sebagai pihak yang secara langsung bisa dijangkau oleh pesantren. Dengan alasan asumtif yang sederhana, bahwa jumlah massa politik yang besar tanpa diimbangi literasi politik yang memadai, atau bahkan doktrin politik yang salah, hanya akan berujung pada kekacauan politik.

Selain sebagai langkah strategis dalam menyambut pemilu, pendidikan politik sendiri dibutuhkan individu sebagai dasar untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Sebab di dalamnya seseorang akan belajar soal negosiasi. Oleh karena itu, memberikan pendidikan politik kepada santri, sama artinya dengan ikhtiar pada dua hal, meningkatkan kesiapan menyambut pemilu, sekaligus meningkatkan kualitas SDM, terutama yang berada di rentang usia muda.



Sebagai langkah untuk memperjelas urgensi pendidikan politik pada santri, pendapat dari tokoh yang otoritatif, yaitu mereka yang bergelut langsung dalam dunia pesantren dan politik perlu dihadirkan. Berikut petikan wawancara Ahmad Dafa Audi Hafiz dengan salah satu pengasuh pesantren, sekaligus caleg DPR RI Dapil DIY dari Partai Nasdem, yakni Ibu Fetra Nurhikmah, S.Psi.

oOo

Menurut anda, seberapa penting pendidikan politik untuk santri?

Sebagai warga negara, meskipun secara pasif, wacana politik harus ada dalam diri santri. Wacana ini mesti dimulai dari mengerti makna politik. Secara singkat politik adalah kepentingan. Dalam definisi yang lebih luas, politik menyangkut kepentingan sebagai warga negara. Mau dibawa ke mana negara kita ini? Arah pertanyaan ini santri harus paham.

Kemudian kalau melihat budaya pendidikan kita sedari TK yang menghafalkan Pancasila, lalu saat SD mempelajari undang-undang dasar, Itu menunjukkan bahwa hidiup kita diatur oleh hukum, oleh batasan-batasan. Nah, politik adalah proses menyinkronkan cita-cita kita dengan hukum tadi.

Dalam Islam, Allah berfirman pada surah Al-imron ayat 159, bahwasannya Nabi mengawali politik dengan musyawarah. Artinya, bahwa tidak ada keputusan individual nabi dalam mengatur kebersamaan umatnya. Dalam hal ini jelas, pandangan politik yang harus kita kembangkan, terutama bagi santri, adalah politik kebersamaan.

Penting bagi santri untuk memiliki wawasan politik, terutama yang perempuan. Santri perempuan ini kalau tidak memiliki pendidikan politik sulit berkembang. Alasannya karena dia terbatasi oleh konstruk budaya yang melemahkannya, kita sebut ini sebagai stigma gender. Pada acara yang saya ikuti beberapa waktu lalu di Lamongan, Dr. Hj. Kholidah sampai menyayangkan para santri putri yang potensinya disia-siakan, dalam arti peluang mereka untuk menjadi ustazah itu kecil. Santri putra dan santri putri mendapat pendidikan yang sama, tetapi mengapa outputnya berbeda? Padahal seringkali yang rajin itu perempuan.

Lantas bagaimana dengan sikap kita? Kan perempuan lebih sedikit mendapat peluang daripada laki-laki, terutama peluang kepercayaan yang katanya atas dasar keamanan. Hanya karena perempuan punyak payudara dan lalu lekuk-lekuk tubuh yang harus diamankan, perempuan sampai tidak bisa mengakses banyak hal. Padahal ini fungsi reproduksi, bukan peran. Laki-laki dan perempuan memang berbeda, tetapi kan peran-peran sosial bisa dipertukarkan?

Ya contohnya perempuan bisa mengajar, perempuan bisa berorasi, bisa bernegosiasi, berorganisasi, dan ini kan juga nilai politik? Seperti kemampuan saya dalam bernegosiasi yang menjadi nilai politik saya. Perempuan harus mampu bernegosiasi dengan lingkungannya, agar target bahwa perempuan mampu berdaya di berbagai lini dapat tercapai.

Ngomong-ngomong topik ini sudah lama digaungkan sejak zaman Nabi. Waktu itu Nabi datang untuk mengatasi ketidakadilan di Arab. Ketika Khotbah Haji, ia menyampaikan bahwa perempuan itu juga memiliki hak-hak untuk dijaga. Penyampaian ini menandakan Nabi sudah paham tentang adanya konstruk sosial.

Maka penting bagi perempuan, terutama santri perempuan, untuk mengetahui wacana politik. Lebih dari itu, semua santri baik laki-laki maupun perempuan, harus mengerti hukum. Kemudian bagaimana cara berpolitik secara aktif maupun pasif. Kalau secara aktif berarti dia praktis masuk dalam pemerintahan. Kalau secara pasif adalah dengan tidak buta politik. Buta politik itu adalah sesuatu yang membuat kejayaan peradaban Islam runtuh. “Ah politik itu siapa pun pemimpinnya tidak akan berdampak kepada saya”, perkataan seperti ini akan merusak segala-galanya.

Berpolitik secara pasif itu adalah dengan mengikuti dan mengetahui track record orangnya. Sekarang semua deretan calon legislatif iku onone apik kabeh, semuanya bagus, karena memang sedang kontestasi. Namun sebagai santri yang peduli terhadap politik, yang memiliki integritas, kita tidak boleh buta terhadap politik. Harus mengenal dia sudah melakukan apa dan sejauh apa. Apakah pantas ia berlaga seluas kabupaten? Pantaskah ia berlaga seluas provinsi? Pantaskah ia berlaga seluas lingkup nasional? Semua itu hari ini tidak perlu mendatangi KPU, juga tidak perlu mendatangi yang bersangkutan. Kita hanya butuh jari untuk mengecek rekam jejaknya.

Materi apa yang perlu dimengerti santri sebagai dasar untuk memahami politik?

Yang pertama kita harus punya, adalah sikap organisator. Pepatah Arab mengatakan; Al-haqqu bila nidhomin qod yaglibuhul bathil bin nidhom. Hal baik yang tidak terorganisasi akan kalah dengan hal buruk yang terorganisasi. Organisasi adalah salah satu dasar kita dalam berpolitik. Bahwa berpolitik itu tidak bisa secara individu, dia harus digerakkan secara kolektif. Maka santri ini diharapkan mampu untuk berorganisasi.

Yang kedua, kita harus memahami wacana analisis sosial. Analisis sosial itu cara kita berjejaring. Setidaknya kalau kita punya tujuan yang ingin diwujudkan, kita tahu harus menghubungi siapa. Misalnya saya punya cita-cita besar untuk mengembangkan Nahdlatul Ulama, maka saya larinya ke mana? Oh berarti karena saya core-nya di Fatayat, maka setiap kegiatan-kegiatan Fatayat saya hubungkan kepada Kementrian Pemberdayaan Perempuan, lalu juga ke Kementerian Ketenagakerjaan, dari situ jadilah kita punya BLKK (Balai Latihan Kerja Komunitas).

Di sisi lain kami juga punya garda fatayat. Garda fatayat itu semacam Banser, tetapi bukan paramiliter. Kita tidak menguatkan fisik untuk berperang, tetapi kami mengurusi penguatan kapasitas perempuan. Dengan tujuan setidaknya perempuan ini bisa nyambung ketika berbicara soal apa pun, tentunya dengan pelatihan public speaking. Nah itu kami berjejaring dengan NGO luar negeri yang namanya SERVE. Dari situ kami mendapat wawasan terkait penanganan ekstrimisme dan terorisme. Tujuannya agar kader-kader Garfa ini bisa mendeteksi gerakan terorisme dan ekstrimisme di lingkungannya.

Dua hal itulah yang harus dipelajari ketika mau berpolitik. Harus paham organisasi dan analisis sosial. Dua hal ini akan sangat membantu kita dalam dalam berpolitik, setidaknya berpolitik dalam wilayah yang terkecil, yaitu keluarga.

Sudah seideal apa akses santri hari ini pada pendidikan politik?

Sejauh jika dikaitkan dengan wacana organisasi dan analisis sosial, kita masih jauh dari ideal. Kritik terbesar untuk pesantren itu, adalah masih dilestarikannya budaya-budaya yang menghambat krativitas dan rasionalitas. Sebetulnya bagus dengan tujuannya untuk  menjaga adab, tetapi menjaga adab pun harus kita tafsirkan ulang, agar hal-hal itu tidak sampai mematikan kreativitas dan pemikiran santri. Kita tidak perlu menahan daya kritis hanya karena Gus-e tidak berpikir jauh. Kita tetep sopan santun, tetap melayani Kiai dan Nyai, tetapi di belakang profesionalitas harus tetep jalan.

Kita tahu bahwa potensi santri itu bermacam-macam, oleh karena itu mesti ditata. Harus ada manajemen pesantren. Eman-eman banget ini otak dan hati para santri, mereka itu memiliki hati yang bertauhid, yang dihafalkan juga barang-barang yang baik, tetapi kalau tidak dikondisikan dengan tepat, tidak memiliki ruang pengembangan diri, akhirnya akan menguap. Dengan mempertimbangkan dua hal ini, pesantren masih jauh sekali dari ideal.

Apa yang perlu dibenahi untuk mencapai titik ideal dalam hal pendidikan politik pada santri?

Jika kurikulum politik bisa diterapkan dalam pesantren, tentu itu kabar bagus untuk kita semua, agar semuanya nanti bisa berdaya. Selain itu, pembenahan juga perlu terjadi di lingkup keluarga ndalem. Karena bagaimanapun pesantren itu terikat oleh pengasuhnya. Keterbukaan pengasuh terhadap hal-hal seperti ini sangat berpengaruh.

Pihak mana saja yang mesti terlibat dalam memberi pendidikan politik pada santri?

Pendidikan politik itu memerlukan pentahelix, yaitu lima sektor yang penting untuk dilibatkan dalam berjejaring. Pentahelix itu ABCGM, yaitu; Academics, Business, Community, Government, lalu Media. Agar suatu perubahan dapat terjadi dengan signifikan, kita mesti melibatkan kelima sektor ini.

Pertama academics. Persoalan pesantren jelas juga menjadi persoalan akademisi. Terutama Akademisi yang bergerak di bidang pendidikan. Tentu mereka tidak boleh menutup mata kepada persoalan yang dialami madrasah, tidak hanya mengurusi sekolah-sekolah saja. Ini menjadi penting karena marasah adalah bagian dari produk pesantren.

Kemudian business. Sektor bisnis harus disenggol sebab berjalannya roda ekonomi di pesantren ini sekarang sudah dikelola oleh sistem bank. Kita juga ada less money yang mengampanyekan pemakaian kartu. Bisa dilihat anak-anak pembayaran semua juga lewat ATM.

Kemudian comunity,  ini termasuk pegiat anak, komunitas santri, bisa dari IPPNU atau IPNU. Di pondok jika anak-anak tidak boleh keluar, ya dia harus punya Pimpinan Khusus (Pimsus), yang ada di dalam pesantren.

Kemudian government, dalam hal ini terutama oleh Kemenag, kemudian Kementrian Sekretariat Negara. Menteri agama itu lebih dibutuhkan terkait pengembangan kurikulum, sedangkan sekretarat negara terkait persoalan data. Tentu agar kita terdata, kapasitasnya apa? mampu untuk mengambil program-program negara yang seperti apa? Itu peran Kementerian Sekretariat Negara.

Kemudian media. Setiap acara yang melibatkan pesantren tentu harus diliput media. Agar gerakan dari salah satu pesantren, bisa menginisiasi dan memberi motivasi kepada pesantren-pesantren yang lain.

Saya dengar anda mencalonkan diri sebagai dewan legislatif. Apabila terpilih, kontribusi apa yang ingin anda berikan kepada masyarakat pesantren, terutama untuk meningkatkan pendidikan politik santri?

Saya akan menghidupkan agenda pendidikan politik di pesantren melalui Fatayat dan PWNU, utamanya PKNU. Lalu nanti kita lihat komisinya. Jika saya di komisi keagamaan, jelas nanti saya akan lebih banyak berperan di pesantren. Kalaupun tidak, program Fatayat nanti juga akan menyasar pesantren. Misalnya seperti pendidikan seksual dini, itu kan di pesantren-pesantren juga belum ada yang menggarap, kalau di sekolah-sekolah lain sudah.

Apa harapan ibu kepada para santri dalam menyikapi tahun politik secara bijak?

Bahwa berpolitik wajib hukumnya, baik politik pasif maupun politik aktif. Kalau anda tidak bisa berpolitik secara aktif, berperan dalam partai, atau kepengurusan, atau kepemerintahan, maka anda harus berpolitik secara pasif dengan dengan cara mengenali pemimpinya. Dengan itu kita dapat menentukan arah bangsa ini, terlebih pemilihan presiden. Dalam pemilihan presiden, kita mesti mengerti rekam jejak dari setiap paslon. 

Fetra Nurhikmah, S.Psi,
Keluarga Pengasuh Pesantren Wahid Hayim Yogyakarta, Pemangku Asrama Al-Fitroh, sekaligus Caleg DPR RI Dapil DIY Partai Nasdem 2024-2029. 

Posting Komentar

0 Komentar