ADA YANG HARUS KU CINTAI LEBIH DARIMU 2
(Dilema Jatuh Cinta Santri Penghafal Alquran)
Oleh: Malia Anisa
“Mas, kita putus yaaa”
Kalimat itu akhirnya dapat terucap meski dengan berat hati. Dilema yang cukup panjang telah mengusik fikirannya. Perlu waktu seminggu baginya untuk menetapkan keputusan ini, selama seminggu itu pula Alfina menjauh dari lelaki yang begitu Ia cintai demi menetralkan hatinya kembali. Hubungan yang dibangun sejak tiga bulan lalu sebenarnya berjalan baik-baik saja, bahkan Alfina sangat bahagia karena Mas Halim sering mengajaknya berkeliling kota dan mengenalkan Alfina lebih banyak tentang Jogja. Perpustakaan, museum, toko buku, taman budaya, dan serba-serbi kota Jogja lainnya telah dikunjungi bersama. Berangkat mengenakan trans jogja selepas kuliah dan pulang ketika menjelang sore mengenakan motor masing-masing menuju pesantren tanpa sepengetahuan siapapun. Kecuali sahabatnya, Hikmah.
Ya. Hanya Hikmah yang mengetahui.
Namun, tahukah kalian apa yang sebenarnya membuat Alfina akhirnya membulatkan keputusannya hari ini?
Seminggu yang lalu dua sahabat itu mengalami cekcok hingga berdebat hebat. Alfina telat pulang hingga tidak mengikuti jama’ah sholat magrib dan amalan rutin selepas magrib di pesantren. Tidak biasanya dia seperti itu, bahkan tahun ini sebenarnya Alfina sendiri sedang menjadi pengurus bagian ubudiyyah santri. Awal-awal menjalin hubungan dengan Mas Halim, Alfina memang terlihat begitu semangat sebab Mas Halim menjadi inspirasinya. Tapi setelah tiga bulan berlalu, Hikmah mengamati banyak sekali kemunduran dalam diri sahabatnya. Dimana yang waktu itu Alfina mengatakan bahwa pacaran hanya sebagai penyemangat? Bohong. Tipu muslihat syaithon memang sejeli itu, maka untuk kali ini dia harus kembali mengingatkan sahabatnya.
“Apakah engkau tidak malu melakukan perbuatan itu sementara dirimu adalah penghafal Alquran dan semua orang menyebut dirimu sebagai Hafidz Quran?” Gerutu Hikmah sebal dengan raut wajah kesal.
Tak mau kalah, Alfina juga membalas dengan sinis “Tidak, salah mereka saja yang berekspetasi lebih terhadapku? Aku juga manusia biasa seperti mereka.”
“Bukan malu kepada mereka, tapi yang kumaksud adalah malu kepada dirimu sendiri dan Tuhanmu. Orang-orang jelas saja tidak mengetahui perbuatan tercela apapun yang kau lakukan, tapi Tuhanmu maha mengetahui dan dirimu sendiri yang akan menjadi saksi.”
“Menyebalkan sekali menjadi seorang penghafal Alquran” Alfina menggerutu.
“Heii, apa maksudmu? Apakah kau akan memilih meninggalkan Alquran yang selama ini telah engkau perjuangkan susah payah?”
“Memangnya aku diperbolehkan untuk MEMILIH?” nada bicaranya naik seolah menuntut penjelasan dan pengertian terhadap yang ia rasakan.
Hikmah tertegun atas pertanyaan sahabatnya. Perdebatan hari ini harus dicukupkan. “Maafkan aku, Al.” Ucapnya lirih dan seperti biasa, Ia mengalah. Sejenak, Hikmah mengatur hembusan nafasnya. Menarik udara dalam-dalam kemudian melepaskannya kembali selama beberapa detik.
Dibanding Hikmah, Alfina memang lebih keras kepala. Maka ketika memberi pemahaman kepada dirinya pun tidak bisa ditempuh dengan cara yang keras kepala juga, apalagi diiringi perasaan geram. Itu mengapa Hikmah merasa bersalah karena cara bicaranya tadi sedikit berlebihan dan terbawa emosi. Hikmah juga merasa hal yang dilakukannya barusan menunjukan sikap seolah tidak mengenal sahabatnya saja, padahal mereka sudah berteman dalam jangka waktu cukup lama.
Kali ini, Hikmah melembutkan suaranya.
“Benar sahabatku, kita tidak memiliki hak untuk memilih sejak pertama kali memutuskan untuk menjadi penghafal Alquran. Mengabdikan diri untuk Alquran adalah tugas seumur hidup, maka dalam keadaan apaun tidak akan diperkenankan untuk meninggalkan Alquran. Menjaga Alquran adalah kewajiban yang harus dipegang sampai mati dan akan dipertertanggung jawabkan kelak dihadapan Tuhan.”
Hikmah menarik nafas sejenak.
“Alfina, dengarkan aku. Setiap hari dirimu bersama Alquran, memperbaiki yang hilang, mengulang yang terlupa, murojah, setelah khatam dilanjut murojaah, khatam lagi murojaah lagi, begitu terus menerus siklusnya sepanjang hayatmu. Bukankah seperti itu penjaga Alquran? Ditambah orang-orang diluar sana yang terus menerus mengatakan dirimu Hafidz Quran, aku tahu ini berat. Apalagi setiap pujian yang keluar justru menjadi tamparan kuat untuk dirimu ataupun diriku ataupun kebanyakan dari kita semua. Maka hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah memantaskan diri sampai benar-benar menjadi Hafidz dan Hamilul Quran sejati, Al. Mungkin awalnya hal ini hanya sekedar kewajiban, tapi tidakkah dirimu ingin naik hingga ke tahap mencintai Alquran.”
Pertanyaan dari hikmah yang baru saja di dengar membuat Alfina mencoba merefleksikan dirinya kembali.
“Al, Hafal Alquran memang tidak menjamin akhlak kita menjadi baik secara sempurna, tapi ketika Alquran sudah benar-benar kau cintai, maka aku yakin perasaan untuk memantaskan diri memiliki akhlak seperti Alquran akan hadir. Kau tahu apa arti Hamilul Quran? Orang yang mengandung Alquran, dimanapun dan kapanpun mereka selalu membawa Alquran. Bukankah itu impian kita bersama selama ini, Al?"
Hikmah menghentikan ucapannya sejenak, sorot matanya meneduhkan. Bibirnya melukis senyum tulus nan indah, dirinya siap untuk memberikan pemahaman apapun yang dibutuhkan sahabatnya kapan saja. Perkataannya kali ini bahkan lebih lembut jika dibandingkan dengan sutra.
“Sahabatku, dipilih menjadi salah satu dari sekian miliar manusia dimuka bumi ini untuk menjaga Alquran adalah suatu karunia allah yang sangat indah. Tidakkah engkau berbahagia atas hal itu? Dan Kau tahu hal terbaik apa yang bisa kita lakukan setelah dipilih? Ku katakan kembali, yaitu memantaskan diri untuk benar-benar menjadi seorang Hafidz Qur’an itu sendiri. Dan bagi seorang Hafidz Qur’an tidak sepantasnya untuk pacaran.”
Lenggang.
Baik Hikmah ataupun Alfina, keduanya terdiam. Hikmah mengingat kembali perjalanan mereka bersama dalam menghafal Alquran hingga sejauh ini, kalau saja saat ini dia diam dan membiarkan sahabatnya yang barangkali sedang “lupa” tentu itu adalah suatu kesalahan. Disinilah Hikmah merasa perannya sebagai seorang sahabat sedang dibutuhkan oleh Alfina. Sedangkan Alfina merenung sebab merasa dirinya sudah terlalu jauh dari tuhannya. Alfina juga merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Hikmah yang senantiasa menggandeng tangannya agar tetap di jalan yang benar di era gempuran maksiat yang telah di normalisasikan pada zaman sekarang.
“Terserahmu Al, Aku percaya padamu. Seandainya aku tidak berhasil mengetuk pintu hatimu, semoga kelak ada hal lain yang mampu mengetuk dan engkau pun bersedia membukanya”
///
Mas Halim terdiam usai mendengar kalimat yang baru saja dilontarkan Alfina. Masih berusaha mencerna. Mengapa begitu tiba-tiba sekali? Bukankah seminggu yang lalu masih baik-baik saja? Malahan mereka berdua sempat mendatangi event Pasar Kangen bersama di kota Jogja?
“Ada masalah apa Al?” Tanya mas Halim mengharap penjelasan.
“Mas, Aku menjauh bukan berati aku sudah tidak mencintai dirimu, namun aku menyadari bahwa ada hal lain yang harus ku cintai lebih darimu. Jika dekat denganmu nantinya membuat rasa ini semakin tumbuh, Aku khawatir Tuhanku akan cemburu, sebab dirimu adalah sesuatu yang diharamkan untukku. Menjadi hamba yang dicintai tuhannya adalah cita-cita setiap makhluk bukan? Dan aku tahu bahwa dalam proses perjalanan menuju cita-cita itu tidak dapat di barengi dengan hal-hal yang tidak diridhoi olehnya.”
“Kutunggu pada saatnya engkau datang kerumahku. Semoga dirimu peka, Mas ” ucap Alfina dalam hati sebelum Akhirnya berpaling dan meninggalkan Mas Halim.
Alfina mengusap air matanya. Ia yakin keputusannya kali ini benar.
Meski hubungannya dengan Mas Halim telah usai, namun hati Alfina berharap tidak dengan cerita mereka. Benar yang dikatakan sahabatnya, lebih baik dirinya kehilangan sesuatu karena allah daripada harus kehilangan allah karena sesuatu. Lagi pula bukankah ketika Zulaikha mengejar Yusuf, Allah jauhkan Yusuf darinya? Tapi ketika Zulaikha mengejar Allah, justru Allah hadirkan Yusuf untuknya. Biarlah Mas Halim fokus dengan impian-impian yang ingin diraihnya, begitu juga Alfina fokus dengan segala target dan mimpi-mimpi hebatnya. Semoga suatu saat nanti pada waktunya, cerita ini akan bersambung kembali dengan versi yang diridhoi Allah. Aamiin.
///
وَعَنْ يَحْيَى أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَ حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
Dan dari Yahya bahwa Abu Salamah, telah menceritakan kepadanya bahwa Abu Hurairah, telah menceritakan kepadanya, bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda. -Dalam riwayat lain- Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim, telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Yahya dari Abu Salamah bahwa ia mendengar Abu Hurairah radhiallahu'anhu, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, "Sesungguhnya Allah itu cemburu. Dan kecemburuan Allah datang, bilamana seorang mukmin melakukan hal yang diharamkan Allah.”
0 Komentar